Tentang Kami



Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) adalah perkumpulan yang berbasis anggota individual dan bersifat non-profit yang didedikasikan bagi pemajuan dan pembelaan hak-hak manusia tanpa membedakan suku atau etnis, bahasa, agama, warna kulit, jender dan orientasi seksual, status dan kelas sosial, karir dan profesi maupun orientasi politik dan ideologi.
PBHI didirikan pada November 1996 di Jakarta melalui Kongres yang diikuti oleh 54 orang anggota pendiri dari berbagai kalangan sebagai wadah berhimpun bagi setiap orang yang peduli terhadap hak-hak manusia untuk semua (human rights for all).  PBHI terdaftar sebagai organisasi perhimpunan yang berkedudukan di Jakarta dan tersebar melalui perhimpunan wilayah dengan anggota lebih 1.000 orang. Sebaran wilayah PBHI mencakup Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Visi dan Misi
Visi PBHI: Negara (state) menunaikan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak manusia yang mencakup hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Implementasi kewajiban negara tidak hanya ditempuh tanpa diskriminasi, namun juga afirmatif terhadap kelompok yang lemah dan yang mengalami diskriminasi.
Misi PBHI: Mempromosikan nilai-nilai universal hak-hak manusia, membela para korban pelanggaran, serta mendidik anggota dan calon anggota sebagai pembela hak-hak manusia. Setiap orang harus diperlakukan setara dalam hukum dan perlakuan tanpa peduli asal-usul dan warna. Setiap korban pelanggaran hak-hak manusia membutuhkan uluran tangan dan solidaritas. Dan untuk itu pula diperlukan pembela hak-hak manusia.
Format Politik dan Hak-hak Manusia
Lebih satu dekade reformasi politik yang terformat sejak 1998 ditandai beberapa perkembangan. Pemerintahan mengalami desentralisasi – sebagai reaksi terhadap pemerintahan Orde Baru yang sentralistis – yang ditunjukkan dengan lebih berperannya parlemen (DPR). Kendati tidak mudah diterapkan secara efektif, namun pemerintah terus berupaya mengadopsi dan memperkuat komitmen terhadap implementasi prinsip partisipasi, akuntabilitas dan transparansi (PAT) demi capaian suatu pemerintahan yang baik (good governance), termasuk pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Reformasi juga ditunjukkan dengan konstitusi atau UUD 1945 yan sudah mengalami amandemen sebanyak empat kali (1999-2002). Demikian pula, seluruh perjanjian internasional yang utama tentang hak-hak manusia sudah diratifikasi, selain juga membuahkan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja, UU No. 2/2008 tentang Partai Politik (revisi UU No. 2/1999 dan UU No. 31/2002), UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. UU  8/1981 tentang Kitab Undang-undang Acara Hukum Pidana (KUHAP) dan KUHP juga segera direvisi.
Sistem politik pun berubah sebagaimana yang terformat lewat pemilu multipartai untuk perebutan kursi DPR, terbentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan bahkan pemilu presiden. Lebih marak lagi, terlaksana lebih 400 pemilihan langsung kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dua provinsi – Aceh dan Papua – menikmati kewenangan yang lebih besar lewat otonomi khusus.
Namun demikian, pengingkaran dan pelanggaran hak-hak manusia (human rights violation) tetap merupakan realitas umum baik dalam tingkat realitas hukum yang mengabaikan atau tidak sesuai dengan standar normatif hak-hak manusia maupun dalam tingkat realitas sosial yang dapat diduga sebagai bentuk kegagalan, kelemahan atau kelalaian negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak manusia. Bila realitas hukum saja gagal memenuhi standar normatif hak-hak manusia, maka bisa dipastikan bahwa realitas sosial lebih buruk lagi. Sebagai contoh, banyak tersangka dan terdakwa dilanggar hak-haknya, bahkan tidak sedikit pula yang menjadi korban penganiayaan ketika ditangkap, korban penyiksaan ketika berada dalam tahanan, dan lebih mengerikan lagi ditembak mati.
Dalam konteks format politik baru dan realitas pelanggaran hak-hak manusia inilah PBHI berupaya meningkatkan partisipasi bagi promosi dan pembelaan hak-hak manusia bersama anggota dan organisasi hak-hak manusia lainnya maupun bersama komunitas korban pelanggaran hak-hak manusia.
Program
Kerangka program diletakkan atas dasar visi dan misi dengan menggerakkan advokasi atau pembelaan hak-hak manusia yang berbasis pada pemantauan serta pemberdayaan anggota dan komunitas. Dengan kerangka ini PBHI berupaya untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan atas tiga aspek, yaitu pemantauan, advokasi dan penguatan organisasi. Suatu advokasi hak-hak manusia yang efektif tidak mungkin ditempuh tanpa dukungan pemantauan yang meyakinkan dan basis organisasi yang kuat di mana potensi sumber daya anggota diutamakan.
Cakupan wilayah hak-hak manusia sangat luas, mulai dari kebebasan berpendapat sampai pada hak atas pangan dan perumahan. Namun supaya lebih realistis dan efektif, PBHI mencanangkan beberapa isu program yang semuanya dikaitkan dengan dampak terhadap reformasi hukum (legal reform). Tiga isu program yang dirangkum dalam Rencana Strategis adalah: [a] Hak-hak Manusia dalam Otonomi Daerah, [b] Hak-hak Tersangka dan Terdakwa, serta [c] Kebebasan Berekspresi di Papua.
Namun demikian, beberapa PBHI Wilayah juga sudah melaksanakan dan sedang merencanakan programnya sesuai dengan kebutuhan mereka. Beberapa program yang sudah berlangsung dan sedang direncanakan dapat disebutkan berikut ini.
  1. PBHI Nasional dengan melibatkan 7 PBHI Wilayah, melaksanakan monitoring dan advokasi hak-hak manusia dalam konteks otonomi daerah yang sudah mulai dijalankan sejak paruh kedua 2007, secara khusus difokuskan pada dampak pemberlakuan peraturan tentang ketertiban umum. Sekarang, kelanjutan isu ini akan terfokus pada penyusunan dan revisi Perda yang mengadopsi standar hak-hak manusia dan berwatak partisipatif.
  2. PBHI Nasional dengan melibatkan 6 PBHI Wilayah sedang melaksanakan program monitoring dan advokasi hak-hak tersangka dan terdakwa dalam rentang tiga tahun, terkait kasus-kasus pelanggaran atas tiga kriteria: [a] kriminalisasi atas orang yang mempertahankan hak, [b] orang miskin, dan [c] orang-orang yang dilanggar hak-haknya. Bila terdapat kasus anak dan perempuan, PBHI juga akan memberikan bantuan hukum kepada mereka.
  3. PBHI Nasional sudah melaksanakan program advokasi hak-hak manusia di daerah konflik (Papua, Aceh dan Poso) sejak 2003. PBHI sudah merencanakan fokus pada isu kebebasan berekspresi (freedom of expression) dan otonomi khusus.
  4. PBHI Nasional sudah melaksanakan program yang berkaitan dengan kebijakan narkotika dengan sasaran pengguna narkotika atau OdHA, DephukHAM, dan polisi. Sekarang sudah masuk tahun ketiga.
  5. Selain program-program yang dilaksanakan oleh PBHI Nasional bersama dengan PBHI Wilayah, masing-masing PBHI Wilayah secara aktif melaksanakan program sesuai dengan kebutuhan dan peran PBHI di Masing-Masing Wilayah.
Program itu terdeskripsi dalam beberapa kegiatan seperti bantuan hukum (legal aid) dan advokasi, pendidikan dan pelatihan, studi hukum dan kebijakan, investigasi dan dokumentasi, publikasi dan penerbitan, diskusi dan kampanye publik, lobi dan desakan, serta jaringan kerja. Setiap aktivitas ini dijalankan sebagai kerja kolektif dan menekankan partisipasi anggota dan komunitas.
Pendanaan
Dalam menjalankan program atau kegiatan, pendanaan PBHI bersumber dari iuran dan sumbangan anggota, sumbangan simpatisan, lembaga dana dan usaha lainnya.